Banyak
hal unik yang ada di kota Ambon. Bagi yang sudah menetap lama di kota
ini, kadang hal unik tersebut terkesan biasa-saja. Tapi bagi
wisatawan/pendatang baru, sepertinya istilah-istilah ini agak
mengganggu pendengaran atau sedikit menimbulkan keanehan.
Teman
saya (bukan orang ambon) pertama kali datang di kota ini langsung
dibuat pangling oleh supir-supir taxi/mobil sewaan di bandara. Begitu
selesai mengambil bagasinya, dia berjalan keluar
menuju parkiran dimana saya sudah menunggunya. Dia terkagum-kagum
dengan sapaan “Boss” oleh para supir-supir taxi ini.
“Boss,
mau pake mobil boss?”
“Boss,
ada jemputan? Di mobil saya aja bos, mobil besar.’’
“Boss,
mau diantar kemana?”
Begitu
bertemu dengan saya, dia langsung curhat.
“eh keren banget nih
orang-orang ambon, saya baru tiba udah diangkat jadi boss aja,
hehehe”
“belum
seberapa, nanti deh saya jelasin,kita keliling-keliling kota
dulu,bahkan tanpa saya jelaskan pun nanti kamu tau sendiri apa
artinya”
Ya
begitulah Ambonku, bagi masyarakat disini, panggilan “boss”
seperti panggilan akrab untuk teman, kenalan, pelanggan dan atasan
(Boss literally), kalau menurut saya sendiri, panggilan boss juga
bisa dipakai jika kita bertemu dengan seseorang yang kita kenal
wajahnya namun lupa siapa namanya, hehe. Jangankan di bandara, jika
naik angkot ,ojek atau becak pun, penumpang sering berkomunikasi
dengan panggilan boss
“Boss,
ke kfc amaris berapaan?”
“boss,
gang depan stop ya.”
“Boss,pake
helm dong. Di depan kayanya ada polantas deh.” < contoh absurd
)))
Boss
adalah kata ‘positif’ unik yang dipakai dalam masyarakat ambon.
Menurut saya, semua orang pasti senang dipanggil boss karena
‘panggilan’ tersebut juga mengandung ‘doa’ :D.
Selain
‘panggilan positif’, di ambon juga masyarakatnya sudah sangat
terbiasa dengan panggilan-panggilan ‘negatif’ bahkan di daerah
lain jika ada seseorang dipanggil dengan panggilan itu mungkin saja
akan marah besar, di ambon mereka menganggapnya sebagai hal-biasa.
Panggilan
negative yang saya maksud adalah penggunaan nama binatang dan
‘setan’. Saya pernah terkagum-kagum dengan percakapan supir
angkot dan tukang ojek.
Supir
angkot : “eh anjing, ose darimana?” (eh anjing, kamu dari mana?)
Tukang
ojek : “dari kampung. Beta telpon-telpon ose dari kemarin, ose seng
angkat-angkat babi e” (dari kampung, saya telpon-telpon kamu sejak
kemarin, tapi ga diangkat babi!)
Supir
angkot : “parlente tarus, setang e” (terus aja bohong,setan!)
Saya
menyaksikan percakapan “maut” itu dengan kekaguman luar biasa.
Lebih kagum lagi setelah saya mendapatkan kenyataan bahwa supir
angkot dan tukang ojek yang bersangkutan masih ada ikatan saudara,
persaudaraan-yang-so-sweet.
Kata
anjing-babi-kambing-setan-dan-temantemanya adalah contoh budaya
‘panggilan’ yang menurut saya harus dibasmi dengan segera,
walaupun untuk sebagian orang ambon mungkin budaya tersebut
biasa-biasa-saja dan tidak-perlu-ditanggapi-dengan-serius.
Saya
kadang sering berpikir bagaimana kagetnya ‘pendatang baru’ jika
turun dari pesawat di bandara dipanggil “Boss” dan saat di Pasar
tidak sengaja menginjak kaki orang dan dijawab dengan “bajalang
bae2 anjing, seng ada mata ka?” (jalan yang bener anjing, ga punya
mata ya?) Pastinya ‘pendatang baru’ tersebut merasakan
post-power-syndrome hehe, bayangkan saja, abis jadi boss langsung
berubah jadi anjing x_x
Sebelum
menulis ini, sempat terpikir oleh saya bahwa beberapa orang mungkin
akan berpikir saya menuliskan hal-hal yang buruk mengenai keadaan
ambon. Kemudian di sisi lain saya merasa ‘harus’ menulis tentang
ini agar banyak orang tau, toh yang saya tulis betul adanya, tanpa
drama *sigh.
Dengan ini mungkin orang-orang yang akan datang ke ambon
bisa belajar sedikit budaya yang ada di kota yang cantik ini.
Pesan
saya, jika dipanggil “Boss” maka “Aamiin-kanlah” dan jika
dipanggil “Anjing-Babi-Kambing-Setan” cuekin aja, hehe. Oke Boss?
|
Ambon Manise (Photo by @roesakau) |